Halo sobat Blogger! Selamat datang di blog kami. Untuk kalian yang senantiasa berada di rumah dan tak sempat berjalan menikmati surga-surga dunia, di sinilah saatnya. Kalian hanya perlu bersahabat dengan  ponsel anda sedikit bijak, dan berlabuh ke sini adalah sebuah keputusan yang benar. Selamat membaca!
Sebelum kami mengulas lebih dalam, apa yang terlintas di pikiran anda jika mendengar sebuah pulau indah bernama Bali? Apakah tari-tariannya yang melelehkan sebuah pandang? Atau tempat-tempat penuh pesona yang haram untuk dilewatkan? Ataukah juga kulinernya yang memanggil untuk segera dimakan? Atau mungkin upacara adat mereka yang membuat anda tertarik dan penasaran?
Bali merupakan sebuah pulau penuh budaya, serta panorama yang tiada dua. Pulau ini seolah semakin mengagungkan kehebatan Tuhan, yang wajib untuk kita kasihi dan syukuri setiap hari. Terlebih jika mata berhasil menemui surganya, bagai orang gila, ia berbahagia ria. Berjalan menyusuri putih sebuah pantai, yang seolah tak akan berubah hitam meski pesohor dan manusia lainnya datang mengunjungi. Pandawa dan Kuta, misalnya. Namun tahukah kalian ada satu lagi surga yang senantiasa menarik-narik hati, memaksa untuk segera dikunjungi, di balik jajaran manis sebuah bangunan eksotis. Apakah itu?
Itu adalah Desa Penglipuran. Mungkin ada beberapa yang belum tahu desa macam apa itu. Apa      keistimewaan dan keunikan yang membuat kami ingin tahu lebih dalam dan ingin untuk segera melakukan penelitian. Nah, sekarang kami bertiga akan menjelaskan apa itu Desa Adat Penglipuran.
Kebetulan sekali kami mendapat tugas dari sekolah untuk meneliti, menggali, dan mencari-cari sebuah informasi yang ada di desa itu. Betapa kagum sebuah pandang, paras desa itu sudah membius kami sejak awal, ketika untuk kali pertama kaki kami menyentuh tanahnya. Bersyukur sekali, kami segera dipertemukan dengan Ibu Yak Wayan Sumadi (52), selaku penduduk lokal Desa Panglipuran sekaligus narasumber yang memberi kami segudang informasi.
Desa Penglipuran sendiri berada di kelurahan Kubu, Kabupaten Bangli. Penglipuran berasal dari kata “Penglipur Lara” yang artinya penghibur lara. Karena sejak jaman kerajaan, tempat ini adalah salah satu tempat yang bagus bagi beristirahatnya para raja untuk mengusir lara. Selain itu, menurut masyarakat, kata penglipuran juga berasal dari kata “Pengeling Pura” yang berarti tempat suci untuk mengingat para leluhur. Keunikan desa ini ialah adanya “angkul-angkul” di setiap satu tanah rumah. Apa itu angkul-angkul? Angkul-angkul adalah gerbang selamat datang yang sudah sejak bertahun-tahun lalu lamanya, berdiri di setiap bagian depan rumah penduduk.                                                                                               
Gambar angkul-angkul
                             
Di desa Penglipuran ini, rumah masing-masing keluarga hampir seragam. Mulai dari pintu gerbang (angkul-angkul), bangunan suci, dan dapur. Antara satu rumah dengan rumah lainnya, terdapat  

Hutan bambu

sebuah jalan mirip lorong yang menghubungkan kepada rumah tetangga sebelah. Ini dimaksudkan sebagai tanda keharmonisan mereka hidup bermasyarakat. Dapur di sini, kebanyakan dibuat dari bambu yang sudah dianyam, seperti atap dan dindingnya, misalnya. Untuk mendapatkan pasokan bambu yang terbilang banyak, penduduk Desa Penglipuran tak sebegitu khawatir. Karena mereka memiliki hutan  bambu seluas 45 hektar, yang mereka pelihara dan jaga bersama sejak lama. Begitu menurut narasumber kami.
Ketika memasuki desa ini, ada jalan lurus berundak-undak yang panjang. Dan, sampah bukan menjadi benda yang bisa kami jumpai semudah di kota kami. Ini begitu bersih dan rapi. Tak heran desa ini lantas menjadi sebuah destinasi untuk diteliti. Memang, warga di sini begitu sadar akan lingkungan yang diajarkan secara turun-temurun sejak dulu. Budaya gotong royong setiap satu bulan sekali, hidup damai dan saling menyayangi, percecokan yang jarang sekali terjadi, patuh dan hormat pada adat, begitulah sedikit gambaran sebuah Desa Penglipuran kata Bu Wayan.
Membahas tentang adat dan tradisi, desa ini memiliki tradisi yang berbeda pada upacara Ngaben. Ngaben di desa ini tidak membiarkan mayatnya hangus terbakar, melainkan membakar kayu bakarnya saja, sedang mayatnya dikubur. Hal ini dilakukan sebagai wujud tanda hormat, karena dirasa membakar itu menyakiti. Selain itu, Desa Penglipuran memiliki sistem adat pemerintahan yang dipimpin oleh Keliyan Adat yang artinya pemimpin adat atau kepala desa. Lalu ada satu lagi tradisi, Hari Raya Galungan, namanya. Ia diadakan setiap 6 bulan sekali dengan membuat penjor di setiap rumah. Penjor yaitu dekoratif bambu kreatif karya para warga, yang ditempatkan di luar rumah. Dengan begitu, desa ini tampak lebih mencolok dan indah dibanding desa lainnya.
Ada satu lagi adat unik yang dimiliki desa ini, yakni sebuah hukum anti poligami. Akan ada
Daun Cemcem
kesepakatan sanksi yang harus mereka terima jika melanggarnya. Yaitu dengan dikucilkan dari masyarakat, dan diletakkan di tempat pojok selatan desa Penglipuran yang mana hanya berupa lahan kosong yang jauh dari warga. Ia juga akan dibangunkan rumah kosong dengan tembok tinggi, serta tidak diperkenankan ke Pura yang berada di desa tersebut. Tempat itu bernama Karang Memadu.

Loloh Cemcem
Meskipun memiliki adat, tradisi, dan budaya yang khas, ada juga salah satu minuman khas desa ini. Loloh Cemcem namanya. Kira-kira seperti apa Loloh Cemcem itu? Loloh Cemcem adalah minuman olahan warga Penglipuran bersumberkan dari dedaunan cemcem yang dicampur dengan sedikit bahan rempah pilihan. Fungsinya untuk mendinginkan perut, katanya. Kebetulan kami diberi kesempatan untuk mencicipi minuman ini sehingga bisa merasakan sendiri seperti apa Loloh Cemcem itu. Menurut kami, cita rasanya hampir seperti jamu, karena rasanya mirip beras kencur. Oh, ada satu lagi jajanan yang tidak boleh ketinggalan. Lak-lak, namanya. Jajanan tersebut sama saja yang ada di Jawa, yaitu Serabi. Hanya saja, Lak-Lak ini diberi topping parutan kelapa dan ditaburi gula jawa yang sudah dicairkan. Bentuknya pun nampak lebih kecil dari serabi.
Lak-lak
Ada satu hal lagi dari desa Penglipuran ini adalah masing-masing keluarga tetap menganut falsafah “Tri Hita Karana” yaitu sebuah falsafah dalam agama Hindu yang selalu menjaga keharmonisan dengan 3 hubungan baik yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan.
Meskipun desa Penglipuran ini sudah tersentuh modernisasi namun desa ini masih tetap menjaga kearifan lokalnya dan generasi mudanya masih mempertahankan adat, budaya dan tradisi mereka. Tidak salah kalau banyak wisatawan asing, antropolog maupun mahasiswa yang berkunjung ke desa ini untuk meneliti, berwisata, maupun mengamati keunikan dari desa ini saja. Sehingga desa Penglipuran ini mendapat julukan “Desa Adat, Desa Budaya dan Desa Wisata”.
Kesimpulan :
Jadi, pantaslah desa Penglipuran ini banyak menarik wisatawan yang datang untuk berkunjung ke desa ini, tidak hanya pemandangannya yang indah namun juga tersimpan begitu banyak adat istiadat yang ditinggalkan oleh para leluhur mereka. Mulai dari sistem pemerintahan yang dipimpin Keliyan, struktur bangunan yang sama antar rumah, upacara ngaben yang sedikit berbeda, hingga dilarangnya untuk berpoligami. Minuman dan jajanan khas milik desa Penglipuran dan falsafah penting yang dianut setiap keluarga di desa ini, yaitu falsafah Tri Hita Karana. Adat dan budaya tersebut sungguh sangat membuat kita kagum karena adat tersebut sudah dijaga sejak nenek moyang mereka sampai sekarang. Apa boleh kekayaan Indonesia hilang ditelan waktu? Tidak, kan? Kami berharap kekayaan Indonesia ini tidak akan punah dan terus dijaga, terlebih lagi jika adat-adat di daerah lain dapat dipertahankan seperti desa Penglipuran pasti Indonesia ini masih menjadi negeri yang  memiliki berjuta adat istiadat.
Sekian, ya, sobat. Terima kasih sudah mampir. Semoga kita berjumpa di kesempatan yang lebih baik dengan kisah surga yang lebih indah..
 Dari kiri ke kanan; Erita, Bu Wayan, Puput, Adhim
                 
Daftar Pustaka


Hari Guru